Tuesday 8 May 2018

Keadaan Manusia di Padang Mahsyar dan Kesempatan Raih Pahala di Bulan Ramadhan





Melihat wahana itu, saya menunjuk-nunjuk suami agar mencobanya. Saat itu, kami sedang mengikuti acara family gathering lembaga tempat saya bekerja. Zee force di Jungle Land Adventure Theme Park memang menjadi salah satu wahana yang digandrungi oleh pecinta wahana pemacu adrenaline. Wahana yang bisa dinaiki 4 orang itu bentuknya seperti pesawat dan bisa menjungkirbalikkan tubuh para penumpangnya. Bagi saya, wahana itu seperti mengasyikan dan penasaran ingin mencobanya.

Akhirnya, rayuan maut saya membuahkan hasil. Saya dan suami memilih pesawat. Kami pun naik dan duduk di kursi belakang. Oleh petugas, tubuh kami dikunci agar tidak terbanting saat wahana itu menjungkirbalikkan tubuh kami. Sebelum beraksi, saya dan suami berpegangan tangan. Seolah-olah kami akan melewati semua ‘cobaan’ itu bersama. Saya pun bahkan sempat melirik pria di samping kanan saya itu. Namun, ketika pesawat mulai melaju, tangan kami terberai. Masing-masing dari kami malah sibuk memegangi kunci yang membentang dari leher ke badan. Berharap dengan begitu akan mengurangi rasa takut dan tegang. Sampai permainan itu berakhir, kami masih tetap sibuk dengan bagaimana caranya menyelamatkan diri.

Begitulah keadaan ketika di padang mahsyar. Mahsyar (Arab: محشر) dalam Islam adalah tanah berpasir putih yang sangat luas dan datar, dimana tidak terlihat dataran rendah maupun tinggi di akhirat. Mahsyar adalah dataran raksasa yang tidak bertepi, tidak ada lembah, sungai maupun laut.

Di Mahsyar inilah semua makhluk Allah yang berada di tujuh lapis langit dan bumi termasuk malaikat, jin, manusia, binatang berkumpul dan berdesak-desakan. Setiap manusia pada hari pengadilan akan hadir di mahsyar, diiringi oleh dua malaikat, yang satu sebagai pengiringnya dan yang satu lagi sebagai saksi atas segala perbuatannya di dunia.

Menurut ajaran Islam, manusia yang pertama kali dibangkitkan oleh Allah adalah Muhammad. [HR Utsman bin Affan bin Dahaak bin Muzahim daripada Abbas rad]. Hari-hari di Mahsyar itu disebut sebagai Yawm al Mahsyar (يوم المحشر, Yaumul Hasyir). Kemudian dikatakan dalam sebuah hadits oleh Muhammad bahwa Palestina adalah tanah Mahsyar(dikumpulkan) dan Mansyar (disebarkan) manusia.[HR Imam Ahmad dengan sanad dari Maimunah binti Sa’d radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Wahai nabi Allah, fatwakan kepada kami mengenai Baitul Maqdis. Beliau bersabada, “Tanah Mahsyar dan Mansyar.” HSR Ahmad dan Ibnu Majah.] Di Indonesia, Mahsyar ini lebih dikenal dengan sebutan Padang Mahsyar, begitupula dengan orang-orang yang berbahasa Melayu.

Pada hari itu, semua manusia akan memikirkan dirinya sendiri. Tak peduli ketika orang tua, suami, atau anak diseret-seret oleh malaikat. Ibu tidak lagi menolong anaknya, suami tidak lagi memikirkan nasib istrinya, orang tua tidak lagi mementingkan anak cucunya. Mereka tidak saling mengenal satu sama lainnya. Mereka tidak akan saling menolong karena lebih mementingkan nasibnya sendiri.

Keadaan manusia akan tergantung dari amalan yang telah dikerjakan semasa hidupnya. Bahkan dalam satu riwayat, Allah akan menerbitkan matahari tepat di atas kepala dengan jarak hanya 2 busur. Saking panasnya, manusia akan terpanggang oleh teriknya matahari. Akibatnya, keringat pun mengalir deras, menggenangi padang mahsyar seiring ketakutan yang luar biasa. Keringat itu ada yang naik hingga ke badan mereka, ada lagi yang mencapai lutut, sebagian lagi ada yang mencapai pinggang, mencapai lubang hidung, bahkan ada yang nyaris tenggelam oleh keringatnya sendiri. Hanya bagi orang yang beriman, beramal shaleh serta banyak mengerjakan kebaikan yang akan terlindungi dari teriknya sengatan matahari.

“Setiap orang dari mereka pada hari itu sibuk dengan urusannya masing-masing (37) Banyak muka pada hari itu berseri-seri, (38) tertawa dan gembira ria,(39) dan banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu,(40) dan ditutup lagi oleh kegelapan (karena merasa hina) (41) Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.(42)” [Q.S. ‘Abasa (80) : 37 – 42]

Namun ada satu manusia yang tidak henti-hentinya ke sana kemari memohon kepada Allah untuk keselamatan manusia lainnya. Ia sibuk mencari dan mencari hambanya. Di saat matahari begitu terik, ia memanggil manusia untuk diberi minum. Manusia itu adalah Baginda Rasulullah SAW. Satu-satunya manusia paling sibuk di hari itu.

Mengingat sebentar lagi bulan Ramadhan, mungkin tak hanya saya yang merindukan kehadirannya. Umat Muslim di dunia pun merindukannya. Keutamaan-keutamaan yang mengiringi bulan nan mulia menjadi landasan saya merindukannya. Di bulan yang penuh barokah tersebut; semua pintu kebaikan terbuka, doa-doa yang membumbung tinggi itu dimustajabkan, segala dosa-dosanya diampuni, dan pahala atas kebaikan dilipatgandakan. Apalagi di dalamnya terdapat dua moment besar yakni nuzulul qur’an dan lailatul qadr.

Jika Allah memberi kesempatan umur saya hingga Ramadhan, saya tidak akan menyia-siakan kesempatan dengan bersama-sama menjadikan bulan ini menjadi ladang garapan amal ibadah. Shalat 5 waktu, berpuasa dan menjaga hawa nafsu, zakat maal, dan zakat fitrah. Selain itu, shalat tarawih, shalat rawatib, shalat qiyamul lail, tadarus, dzikir, itikaf dan mengagungkan baginda Rasulullah SAW melalui lantunan shalawat. Di mana pun dan kapan pun, berusaha untuk menyertakan Allah dan Rasulnya dalam hati.

Meski di Padang Mahsyar nanti saya tidak akan mengenal suami saya, anak-anak saya, orang tua saya, teman-teman dan saudara lainnya, sebelum saya benar-benar tidak mengenali mereka, saya akan mengajak mereka agar tidak menyia-siakan bulan Ramadhan. Tujuannya adalah agar kita semua bisa mencapai syurga Allah, berkumpul bersama di Firdaus Allah.

“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apayang dikerjakannya.” [ath-Thûr (52) :21]

Suatu kenikmatan tiada tara yang diraih oleh penghuni surga adalah hidup bersama-sama dengan keturan mereka, meskipun amalan shalih anak keturunan tidak sepadan dengan orang tuanya baik dalam hal kualitas maupun kuantitas. Maka, saya ingin yang merasakan nikmat tersebut. Bisa berkumpul kembali bersama keluarga saya, di surga Allah. Semoga Allah meridhoi langkah ini dan memasukkan kami semua ke dalam orang yang beriman dan beruntung.






















Sunday 23 July 2017

Pelangi Rizki di KRL Depok Baru - Tanah Abang



Wanita berwajah pasi itu berusaha memanggil Yanita. Namun, suaranya yang parau kalah oleh deru mesin dan roda KRL yang menggilas rel. Awalnya, wanita itu dengan Yanita berdiri berdekatan. Naasnya, penumpang di KRL Depok Baru menuju Juanda itu membludak. Wanita itu terpisahkan.
“Mbak …, mbak …,”panggil wanita itu sekali lagi.
Kali ini, Yanita menoleh. Dengan tangannya, ia mencoba memberi kode kepada Yanita yang terpaut 2 orang berbadan jangkung. Tampak dari wajah Yanita gurat keterkejutan. Tak menunggu lama lagi, ia merogoh saku jaketnya dan mengambil ponsel.
Yanita menekan sebuah nomor dan menempelkan ponsel di telinganya. Dahinya mengerut, wajahnya berubah pucat.
***
“Besok kita ke Mandiri University naik apa nih, Mbak?” tanya Riana kepada Yanita. Selama hampir 3 bulan sejak Riana bekerja di Mandiri Amal Insani (MAI) Foundation, Mampang Prapatan, ia harus pulang sendirian dan menempuh perjalanan sekitar satu jam lebih agar sampai ke rumahnya di Sawangan, Depok. Sejak ada Yanita yang tinggal di Cinere, Riana seperti memiliki teman perjalanan.
Menjelang Ramadan, yayasan tempat di mana Riana bekerja akan mengadakan berbagai macam kegiatan. Agar terjalin koordinasi yang baik, maka sesama karyawan harus saling mengetahui tugas masing-masing dan saling mendukung. Riana harus menghadiri Rapat Koordinasi Ramadan tersebut di Mandiri University, besok. Riana yang belum genap setahun kembali dari perantauan belum mengetahui jalanan Ibu Kota. Pantas saja jika ia kebingungan dan mencari teman perjalanan.
“Naik KRL aja, yuk?!” ajak Yanita.
“Kalau naik KRL turun di mana?” tanya Riana lagi.
“Turun di Juanda aja,” seloroh Devi, masih rekan kerja di MAI Foundation.
“Okey, nanti besok aku ke rumah Mbak, nanti kita bawa motor ke Stasiun Depok Baru, terus simpan di penitipan.”
Jadilah, pagi sekali Riana bangun dari tidur lelapnya. Setelah pamitan kepada Mama dan Pangeran Kecil, deru motor Riana membelah jalanan Sawangan yang masih terlelap.
Di kejauhan, Yanita sudah menunggu di pinggir jalan. Ia mengenakan jilbab hitam dan jaket hijau kesayangan. Riana mampir sebentar untuk bersalaman dengan ibunya Yanita. Setelahnya, mereka bergegas menuju stasiun.
Ini pertama kalinya Riana naik KRL di pagi hari pada jam kerja. Dulu, ia pernah sekali naik KRL menuju Pasar Minggu. Tapi itu hari libur. Melihat penumpang berjejer di tempat penungguan KRL yang membludak di hari kerja itu membuat Riana bergidik. Ia teringat saudaranya yang harus naik KRL bolak balik tiap harinya menuju tempat.
Akhirnya, keduanya memasuki salah satu gerbong. Riana tercenung. Padatnya Mass Transit Railway (MTR) yang pernah Riana rasakan dulu di Hong Kong sungguh sangat berbeda jauh dengan apa yang ia rasakan saat ini. Di antara penumpang, mereka berjubel-jubel, desak-desakkan. Jangankan untuk menggerakan tangan, rasanya, untuk bernapas pun sulit. Saking pikuknya.
KRL terus melaju dari satu stasiun ke stasiun berikutnya. Penumpang ada yang datang dan ada yang pergi. Di satu stasiun, Riana teringat kalau ia harus menghubungi temannya. Namun apa yang terjadi berikutnya membuat wajah Riana pucat. Ponsel yang baru dibelinya empat bulan yang lalu itu raib! Seseorang di dalam KRL telah mencurinya.
Serasa tertimpa beban berton-ton, pundak Riana terkulai. Beberapa kali Yanita mencoba menghubungi nomor ponsel Riana, namun yang terdengar adalah suara operator pertanda panggilan sudah dialihkan. Riana mengedarkan pandangan ke sekeliling gerbong KRL. Berharap pelaku pencurian itu masih di sana dan apabila melihat kegelisahan Riana, orang tersebut akan berbaik hati mengembalikan ponsel miliknya. Namun itu tidak mungkin.
“Kayaknya langsung dimatikan deh, Mbak,” kata Yanita.
“Ya Allah, tega benar tuh pencuri. Hape baru beli, tivi rusak, mana bulan depan aku harus bayar sewa kontrak rumah lagi,” rutuk Riana lirih. Riana di keluarganya adalah tulang punggung. Maklum saja jika sebuah keluhan keluar dari mulutnya.
Hening menjeda.
“Ada apa, Mbak?” Tetiba ada bapak-bapak setengah baya menghampiri.
“Hape dia ilang, Pak,” jawab Yanita.
“Duh. Kalau di KRL itu harus hati-hati, Mbak. Benda berharga itu ditaruh di tas depan. Nih, kayak bapak,” nasihat bapak itu sambil mempraktikkan dengan ponselnya.
“Ya, bagaimana lagi,” jawab Riana singkat.
“Coba mana sini nomor hapenya? Mau saya coba,” lanjut bapak itu.
Riana menyebutkan beberapa angka.
“Wah, sudah tidak aktif nih, Mbak,” katanya lagi. “Lain kali hati-hati.”
Percakapan terhenti. Seseorang menawarkan kursi kepada Riana. Wanita itu terduduk lesu. Di dalam otaknya, ia berusaha mengkalkulasikan pendapatan dan pengeluarannya, mengira-ngira, apakah ada dana lebih untuk memberi ponsel baru. Riana menghembuskan napas berat. Sepertinya tidak ada, batinnya.
Sejujurnya, saat itu juga Riana ingin menjerit, ingin menangis. Ia membeli ponsel itu sengaja untuk mempermudah pekerjaannya di tempat baru. Ia membutuhkan ponsel sebagai jejaringnya. Dengan hilangnya ponsel itu, kemana lagi Riana harus mencari kelebihan uang untuk membeli ponsel yang baru? Bagaimana dengan koneksinya?
“Masih kepikiran?” Di tengah kerisauan itu, bapak setengah baya yang tadi menawarkan bantuan kembali bertanya.
“Bagaimana gak kepikiran, Pak, hape itu baru empat bulan yang lalu saya beli,” Riana mengulangi rutukkan yang tadi.
“Saya minta nomor hape mbaknya, dong,” ucapnya ke Yanita. “Biar nanti kalau ada rizki, saya bisa transfer sejumlah uang ke rekening mbaknya,” ucapnya lagi.
Kedua mata mereka bertemu, saling menanyakan. Pada akhirnya, Yanita memberikan nomor ponselnya kepada  bapak setengah  baya yang diketahui bernama Sutarno itu.
Melalui pengeras suara, terdengar operator memberitahukan bahwa stasiun Tanah Abang akan segera tiba. Karena salah rute, Riana dan Yanita tidak jadi turun di stasiun Juanda dan memilih turun di Tanah Abang saja.
Dengan perasaan hampa, Riana melangkahkan kaki menjauhi stasiun.
***
Kehebohan terjadi di Kantor Layanan MAI Foundation di Plaza Mandiri. Selang dua hari setelah kejadian, Riana mulai membiasakan diri dengan kehilangan itu. Meski sekarang ia dipercayai memegang ponsel kantor, namun rasanya lebih enak jika memakai ponsel sendiri.
“Mbak, ada telepon dari Pak Sutarno,” suara Yanita menyeruak, mengganggu konsentrasi Riana yang sedang mengetik sesuatu di laptopnya.
Riana mengambil ponsel dari tangan Yanita.
“Hallo, assalamu’alaikum,” sapa Riana.
Wa’alaikumsalam,” jawabnya di sebrang sana. “Saya mau transfer sejumlah uang untuk membantu Mbak membeli hape baru, kira-kira Mbak butuh berapa?”
Riana terdiam, berusaha meyakini bahwa ini adalah kenyataan. “Ya ampun, Pak, berapapun jumlah yang Bapak beri untuk saya, asalkan ikhlas, akan saya terima,” jawab Riana.
“Baiklah, kalau begitu saya akan transfer. Sudah saya transfer, saya tlp mbak lagi, ya?”
“Iya, Pak.”
Tak sampai 10 menit, Pak Sutarno mengabarkan bahwa uang sudah ditransfer.
Riana segera mengecek jumlah saldo di tabungan.
Dan …
Riana hampir tak memercayai keajaiban rizki dari Allah yang datang dengan cara aneh dan tanpa diduga. Bagaimana mungkin, seseorang yang baru dikenal 2 hari yang lalu, yang dikenalnya hanya dalam hitungan menit itu berani mengirimkan sejumlah uang dengan nominal besar untuk membantu seseorang yang baru dikenalnya?
Riana menceritakannya kepada Yanita dan teman-temannya di kantor. Mereka terkejut takjub mendengar cerita itu.
“Jangan-jangan itu malaikat, Rin. Kamu periksa kakinya, gak?” canda Pak Hadi, rekan kerja Riana.
Sampai setelah Riana membeli ponsel barunya, yang wanita itu ketahui adalah bahwa bapak yang ditemui di KRL itu bernama Sutarno, bekerja di PLN Tanah Abang dan sebentar lagi akan pensiun.
Sambil menatap ponsel barunya, Riana berdoa, “Semoga kebaikan hati Pak Sutarno akan dibalas dengan kebaikan yang berlipat dari Allah subhanahu wa ta’ala.”







Monday 8 May 2017

Pelajaran Berharga Tentang Salat dari Teman



 


Nama perempuan berbalut hijab itu bernama Devi Widya Putri Inggraini. Umurnya baru 23 tahun. Saya kenal ketika saya liputan peresmian MI Al Bayan Mandiri di Pamijahan, Bogor. Devi sendiri menjadi panitia acara. Dan karena saat itu kami melakukan tugas masing-masing, sempat sapa ketika makan siang saja dan itupun tak sempat ngobrol banyak.

Singkat cerita, tempat di mana Devi bekerja butuh seorang reporter. Jadilah saya melamar di sana dan Alhamdulillah diterima. Devi ternyata anaknya periang, kocak, dan banyak omong. Tipe-tipe abegeh kekinian namun Devi ini tipe abegeh kekinian yang positif dan kreatif. Perempuan asal Wonosobo inipun Korea addict loh. Kalau saya udah nonton episode terbaru dari drama terbaru, dia kadang menjerit. Katanya pengen nonton. Tapi karena tugas dia yang lebih banyak dari saya, belum lagi sering ikut rapat sampe malam, udah capek duluan. Katanya lebih baik tidur. Hahhaahaha. Ya, begitulah Devi. 

Akhirnya kami jadi akrab. Alhamdulillah-nya lagi, Devi gak sungkan memercayakan kisahnya ke saya. Sayapun berusaha menjadi pendengar yang baik dan berusaha memberikan saran dan kritik jika diminta. Atas dasar itu, kadang saya pun suka curhat perihal apapun. Seperti kemarin. Mungkin tanpa dia sadari, celotehannya membuat saya tercenung. 

Jadi…, kami memiliki jadwal ‘datang bulan’ hampir bersamaan. Devi sehari lebih dulu dari saya. Ketika dia sudah bisa melaksanakan salat, dia girang bukan main. 

“Tahu gak, Mbak, aku mandi jam berapa?” tanya Devi.
“Gak tahu,” jawabku singkat, ngasal lagi.
“Jam 1 malam!”
“Busyeeett, kenapa gak paginya aja?” tanya saya.
“Kemarin kan ada acara sampe malem, pulang ke kostan itu jam 1, aku pikir kan mumpung masih ada Isya, makanya aku mandi aja.” 

Reaksiku saat itu mungkin biasa saja. Tapi serius, ucapannya membekas dalam benak saya. Devi-rela-mandi-jam-1-malam-demi-tidak-melewatkan-salat-Isya (tulisan sengaja saya bold). Di saat orang lain banyak alasan agar tidak menunaikan shalat yang sudah menjadi kewajiban, tetapi perempuan yang satu ini malah tak menjadikan itu sebagai halangan untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. 

Begitulah Allah memainkan peran. Dari celotehan Devi, perempuan yang belum lama saya kenal itu, saya menjadi paham, jika Allah menginginkan kita mendekat dan lebih baik, pastinya akan ada hal-hal kecil yang selalu mengingatkan dan membuat hati kita berdesir.


Tuesday 3 January 2017

Cerpen: Impian Han Chae Hee

Karya ini pernah dilombakan dalam lomba menulis cerpen tema 'biola' yang diadakan oleh Biola Underbridge, Hong Kong. Alhamdulillah, karya ini mendapat Juara 1 dan berhak atas 1 buah biola dan uang tunai.
Omong-omong, jangan tanya biolanya sekarang dikemanakan? Pasti akan saya jawab, ada. 
Tapi kalau ditanya, bisa memainkannya?
Saya akan menjawab dengan suka cita, "bisa, meski cuma ngekngakngekngok."


Impian Han Chae Hee
Oleh : Riana Dewi

Cr. Google


"Han Chae Hee! Kau sedang apa di atas? Apa kau tidak mau turun bantu eomma[1]?" Ketika Eomma memanggil, Han Chae Hee sedang menonton televisi. Chae Hee tahu kalau sore ini kedai mie milik Eomma sedang ramai. Tapi acara variety show yang tengah ditayangkan oleh salah satu stasiun terkemuka di Korea membuat gadis berusia 17 tahun itu menunda pekerjaannya membantu Eomma. Sebenarnya, bukan acaranya yang ia gemari, melainkan karena bintang tamu yang dihadirkan adalah seorang violinis terkenal Korea, Kyung Wha Chung
"Eomma tahu kau sedang menonton televisi dan Eomma juga tahu kau sedang menonton apa. Jadi apa perlu Eomma ke atas lalu mematikan televisinya?" Panggil Eomma lagi dengan nada penuh penekanan. "Cepat turun. Kau harus mengantar mie ke Kakek Lee!"
Mendengar hal itu, meski acara variety show belum selesai, Han Chae Hee akhirnya memilih mematikan televisi dan turun ke bawah. "Ne[2], aku segera turun!"
Eomma yang sedari tadi sibuk melayani pembeli menoleh ke arah Han Chae Hee. "Kau pasti sedang nonton acara biola lagi, kan?"
Han Chae Hee hanya bisa diam mendengar perkataan ketus Eomma itu. Ia tahu betapa bencinya Eomma pada alat musik bernama biola itu meski tidak tahu apa penyebabnya.
"Kau ambil plastik putih dekat tumpukan piring itu dan segera antar ke Kakek Lee sebelum mienya berubah menjadi sebesar cacing!" Tanpa banyak kata, Han Chae Hee mengikuti petunjuk Eomma. "Tolong katakan juga kepada Kakek Lee, mungkin besok atau lusa, kedai akan tutup." Kata Eomma membuat Han Chae mematung lantas mengernyitkan alis.
"Hey, sedang apa kau mematung di sana? Segera antar mienya. Eomma sibuk sekali hari ini." Alih-alih menjelaskan, Eomma malah berlalu melayani pembeli.
Setelah berjalan beberapa langkah, Han Chae Hee berbalik. Menatap bangunan tua di depannya. Rumah kecil dengan dua tingkat yang disewa Eomma di desa terpencil. Lantai atas untuk tempat tinggal, lantai bawah dibuka kedai. Tapi apa yang barusan Eomma katakan membuat pikiran Han Chae Hee terusik.
***
Makan malam kali ini dilalui oleh hening. Biasanya Eomma akan bercerita banyak hal tentang pelanggannya yang kadang membuatnya pusing. Atau Han Chae Hee yang bercerita banyak tentang teman-teman sekolahnya. Tetapi ini masa libur sekolah. Semenjak libur musim dingin, ia sama sekali belum pernah bermain atau jalan-jalan dengan teman-temannya. Han Chae Hee lebih memilih membantu ibunya di kedai.
Han Chae Hee memainkan nasi dalam mangkuk yang masih tersisa setengahnya dengan sumpit. Kimchi stew[3] yang merupakan makanan favorit Han Chae Hee dibiarkan mendingin. Selera makannya tiba-tiba lenyap. Pikirannya masih dirasuki penasaran akan kalimat Eomma tadi siang. Ia berharap Eomma akan segera memberitahu apa maksud perkataannya. Tetapi melihat Eomma yang makan dengan lahap di depannya tanpa kata-kata cukup mengatakan kalau ia enggan membahasnya.  
Han Chae Hee yang kesal melihat tingkah Eomma meletakkan sumpit. Bungkam, ia segera bangkit menuju kamarnya.
***
Semua pengunjung di Seoul Arts Center serentak terdiam menajamkan indera pendengaran.Tak terkecuali Han Chae Hee kecil. Saat itu ia berumur 6 tahun. Mata sipitnya terus memandangi sosok wanita bergaun merah di tengah-tengah panggung yang sedang memainkan biola.
"Bagaimana permainan mereka tadi, Han Chae Hee?" Tanya Han Tae Jung -ayah Han Chae Hee- sewaktu mereka baru keluar dari gedung Seoul Arts Center.
"Daebak[4], Appa," ucapnya seraya mengacungi jempol.
"Apakah kau masih ingin kembali lagi ke sini suatu hari nanti?"
"Tentu saja! Tempat ini sungguh menyenangkan bagiku." Jawab Han Chae Hee kecil dengan riang.
"Johwa[5]. Kapan-kapan kita datang lagi ke sini. Tapi ingat, jangan pernah kasih tahu siapapun tentang masalah ini. Ibumu pun jangan. Ini hanya kita berdua saja yang tahu. Arattji[6]?"
"Ne, Appa. Aku bakal tutup mulut."
Han Tae Jung tersenyum melihat kelakuan putrinya itu. "Hm, sekarang kita mau ke mana lagi?"
"Aiseukeurimeul moggoyo[7]!" Kata Han Chae Hee spontan dengan mata berbinar.
Lalu Han Tae Jung membawa Han Chae Hee ke taman terdekat setelah sebelumnya membeli es krim di mart. Mereka lantas duduk di kursi terbuat dari semen. Han Tae Jung membuka satu bungkus es krim rasa coklat lalu diberikan ke pada putrinya. Menerima es krim, Han Chae Hee langsung menjilatnya.
"Lagu yang tadi wanita bergaun merah dan teman-temannya mainkan itu judulnya The Four Season." Ucap Han Tae Jung tiba-tiba. Han Chae Hee menoleh ke arah ayahnya tapi tak berani berkata-kata. Seolah mengerti kalau ayahnya ingin bercerita sesuatu.
"Komposernya bernama Antonio Vivaldi dari Italia." Lanjutnya lagi. "Dulu, ayah ingin sekali menjadi seperti wanita bergaun merah tadi. Berdiri di tengah-tengah panggung, dihadiri dan disaksikan ribuan pasang mata, lalu ayah memainkan lagu-lagu dari komposer terkenal dunia dan menciptakan lagu sendiri." Han Tae jung menjeda kalimatnya. "Namun sayang itu hanya mimpi yang tak pernah terwujud."
 Han Chae Hee terdiam. Ia menoleh kembali ke ayahnya. Mata sipitnya memandang penuh tanya.  "Wae[8]? Kenapa ayah tidak mewujudkannya?"
Han Tae Jung tersenyum  tapi terlihat masam. "Sebab kakek dan nenekmu tidak suka ayah bermain musik. Mereka menginginkan ayah menjadi arsitek. Tetapi demi apapun, ayah masih menyimpan rapat impian itu, Han Chae Hee," ungkap Han Tae Jung.  "Han Chae Hee, dengarkan ayahmu. Jika kau memiliki impian, kau jangan seperti ayahmu yang pengecut ini. Kejarlah apa yang kau inginkan. Tak peduli itu akan berlawanan arus dengan keadaan. Selagi ada jalan, hwaiting[9]!"
Han Chae Hee waktu itu tidak mengerti apa yang sedang ayahnya katakan. Ia hanya menatap heran kemudian menghabiskan es krim di tangannya. Namun semakin dirinya tumbuh remaja, akhirnya ia menyadari bahwa kenangan itu, kata-kata semangat itu adalah jalan terang yang ditunjukkan ayahnya sebelum meninggal. Kecelakaan telah merenggut nyawa ayahnya. Setelah kematian Han Tae Jung, Eomma menyewakan rumah milik suaminya itu kepada pasangan suami istri dan memutuskan menyewa sebuah rumah di desa kelahirannya.
Dan, di sinilah Han Chae Hee berada. Di kamar kecil, di lantai atas. Setelah meninggalkan Eomma di ruang makan tadi, ia segera memasuki kamar. Ia terduduk menghadap meja belajarnya. Ia memandang figura di atas meja. Akhirnya air mata yang sedari tadi ditahan, tumpah juga.
***
Han Chae Hee merasakan ada sesuatu keanehan di pagi ini. Begitu membuka mata dan melihat jam menunjukkan pukul 8.15, biasanya Eomma yang biasa sibuk di lantai bawah berteriak bangun dan memanggilnya turun untuk membantu di kedai. Tapi kali ini tidak.
Han Chae tergeming untuk beberapa saat. Merasa perlu mencari tahu, ia memaksakan kedua kakinya melangkah. Begitu keluar kamar, ia pun segera turun ke lantai bawah. Matanya jelalatan mencari sosok Eomma tapi hasilnya nihil.  Tak ada Eomma, tak ada pegawai, tak ada suara adonan mie, tak ada siapapun di lantai bawah, bahkan tanda-tanda kedai akan buka pun tak ia temukan. Han Chae Hee semakin diliputi tanda tanya.
"Kamu sudah bangun, Han Chae Hee?"
Han Chae Hee terkejut dan segera menoleh ke belakang. Eomma sudah berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri dengan mengenakan baju bagus. "Hm," jawab Han Chae Hee singkat.
"Kalau begitu, cepat kemasi barangmu. Kita harus pergi. Bawa baju seperlunya saja," perintah Eomma tanpa basa-basi.
"Memangnya kita mau ke mana? Kenapa kau selalu membuat aturan sendiri?" Saking sebalnya, Han Chae Hee menyebut Eomma dengan sebutan kau.
Melalui sorot mata, Eomma memberikan isyarat agar anak semata wayangnya itu tak usah banyak bertanya. Pada dasarnya, Han Chae Hee adalah anak yang penurut. Begitu melihat sorot mata lelah Eomma, hatinya pun luluh. Ia segera naik kembali ke atas menuju kamarnya dan mengemasi pakaian musim dingin seperlunya saja.
Setibanya di lantai bawah, Han Chae Hee semakin dibuat tak mengerti. Mobil sedan berwarna hitam sudah terparkir di depan rumah. Mobil siapa yang  dipinjam, ia tak tahu. Yang ia tahu adalah semenjak kecelakaan yang menimpa ayahnya, Eomma benci berkendaraan.
***
Han Chae Hee tercenung. Ia merasakan seperti dejavu. Meski pembangunan sudah semakin pesat, memori otaknya bisa mengingat bangunan yang barusan dilaluinya adalah Seoul Arts Center.
"Sebenarnya kita mau kemana?"
Terjawab sudah. Begitu mobil berbelok memasuki wilayah elit Cheongdamdong, ia pun tahu kemana Eomma membawanya.
Han Chae Hee seolah merasakan transisi dari dejavu ke mimpi.
"Turun!" Perintah Eomma.
Eomma membuka gerbang. Han Chae Hee tidak tahu Eomma mendapatkan kunci dari mana sebab setahunya rumah ini telah disewakan. Dari gerbang, mereka melewati taman yang begitu luas. Sebagai arsitek, ayahnya membangun rumah dengan begitu tertata. Rumput hijau membentang, kolam dengan air memancur, lalu dua buah ayunan di bawah pohon rindang masih terletak di tempatnya. Han Chae Hee hanya bisa menghela napas ketika puing-puing kenangan masa kecilnya itu kembali menghiasi benaknya.
Eomma mengambil kunci dari tas tangannya. Setelah pintu besi dibuka, ia menekan sejumlah angka sebagai kode pengaman rumah. Tak lama, pintu utama rumah itu terbuka.
Setelah masuk, Han Chae Hee hanya memandang takjub dengan apa yang ada di dalamnya. Letak sofa, lemari-lemari, furniture, semua masih sama seperti yang diingatnya. Rupanya Eomma membiarkan kenangan itu tetap pada letaknya. Namun tiba-tiba hatinya miris ketika melihat dinding di ruang keluarga yang kosong. Matanya yang takjubpun meredup.
"Penyewa rumah ini sedang berlibur ke Prancis." Jelas Eomma tanpa diminta.
"Ohh," jawab Han Chae Hee singkat, lalu membiarkan Eomma memasuki ruangan yang menjadi kamarnya dulu.
Sama dengan Eomma, Han Chae Hee pun melangkahkan kakinya menuju lantai atas, kamarnya. Dan dugaanya tepat. Tak ada yang berubah dari kamarnya.
"Sudah berapa tahun aku tidak ke sini?" gumam Han Chae Hee lirih sambil mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ia kemudian duduk di kasurnya yang tak lagi sesuai dengan ukuran tubuhnya lalu mengusapnya pelan. Air mata bergulir di pipinya tanpa diminta. Namun segera dihapus begitu mendengar derap langkah mendekat.
Terlihat Eomma datang. Di tangannya, tergenggam sebuah benda berwarna hitam. Han Chae Hee menatap nanar benda itu.
"Aku tahu, cepat atau lambat keteguhan hati ini akan meluluh juga," kemudian Eomma duduk di samping Han Chae Hee. "Dan, mungkin inilah saat yang tepat."
Han Chae Hee tak berkata, lewat sorot matanya, ia memandang Eomma penuh tanya.
"Ini ...," Eomma menyodorkan benda hitam itu ke arah Han Chae Hee. "Ambillah."
Kedua tangan Han Chae Hee mengambil benda itu dari Eomma dan membukanya. Sebuah biola.
"Kau mirip sekali dengan ayahmu." Eomma menatap Han Chae Hee penuh kelembutan. "Kau kira Eomma tidak tahu kalau kau diam-diam sering menonton acara musik di televisi? Kau diam-diam menyukai alat musik biola, ingin membelinya, ingin memainkannya. Dan, selama ini bukannya Eomma melarangmu. Bukan! Hanya saja, Eomma masih trauma atas meninggalnya ayahmu."
"Aku mengerti kok, Eomma." Desis Han Chae Hee.
"Tidak. Kau belum mengerti mengapa Eomma setrauma itu."
"Maksud Eomma?"
Eomma terdiam. Ia memikirkan cara untuk menyampaikan kebenaran. "Apa yang kau ketahui tentang penyebab kematian ayahmu?"
Han Chae Hee menatap Eomma lama, kemudian satu kata meluncur dari bibirnya. "Kecelakaan."
"Geurae[10]. Kecelakaan. Tapi, apakah kau tahu penyebab kecelakaan itu?"
Han Chae Hee menggeleng lemah.
Eomma memaku tatapannya pada langit-langit kamar. Sejenak menghirup napas, ia lantas memulai ceritanya. "Beberapa hari sebelum kecelakaan, mengetahui bakat terpendam ayahmu, sahabat ayahmu mengenalkannya kepada violinis asal Jerman. Violinis itu menyukai ayahmu dan mengajaknya gabung di pertunjukkan besar di Korea. Tak tanggung, Sophie Anne Mutter, violinis wanita terkenal dari Jerman itulah yang akan dijadikan partner duet dengan ayahmu. Saking antusiasnya, tender yang seharusnya dijalankan malah diabaikan hingga kakekmu marah besar. Dan tepat di hari pertunjukkan, saat itu juga tanda tangan tender harus dilakukan."
Eomma menjeda ceritanya untuk mengusap air mata yang jatuh begitu saja. Han Chae Hee mendengar seksama cerita sambil memeluk biola.
"Kakek dan ayahmu beradu mulut. Namun ayahmu lebih memilih impiannya. Ayahmu pergi menuju tempat pertunjukkan. Sayangnya di tengah jalan, ayahmu mengalami kecelakaan. Mobil rusak, nyawa ayahmu menghilang, tapi herannya, benda yang kini berada di tangamu itu utuh tanpa lecet."
Akhirnya Han Chae Hee tahu alasan mengapa Eomma membenci biola.
Eomma kembali mengusap air matanya lalu mengubah posisi tubuhnya hingga berhadapan lurus dengan Han Chae Hee. Tangannya terjulur, direngkuhnya pundak anaknya itu. "Han Chae Hee, Eomma rasa, ayahmu menginginkan kau melanjutkan impiannya."
"Eomma ..." panggil Han Chae Hee lirih. Matanya tergenangi kristal bening.
"Eomma sudah bilang ke penyewa rumah kalau kita akan kembali menempati rumah ini dan mereka tak keberatan. Eomma juga sudah memikirkan ke mana kau akan melanjutkan kuliah. Di Seoul, Eomma yakin segalanya akan jauh lebih mudah dan lebih baik."
Han Chae Hee tak kuasa menahan rasa di hatinya. Ia berangsur memeluk Eomma.
"Maafkan Eomma, Han Chae Hee. Maafkan Eomma yang sudah egois."
Di pelukan Eomma yang hangat, Han Chae Hee menggenggam kuat biola di tangannya. Dan dalam hatinya, ia bertekad akan melanjutkan impian ayahnya.





[1] Eomma : Ibu
[2] Ne : Iya.
[3] Kimchi Stew atau yang disebut juga Kimchi jjigae adalah sup asam pedas khas Korea dengan isinya berupa kimchi, tahu, duan bawang, daging babi dan seafood.
[4] Daebak : Keren, wow, awesome
[5] Johwa : baiklah
[6] Arrattji? : Mengerti, oke
[7] Aiseukeurimeul moggoyo : Makan Es Krim
[8] Wae : mengapa?
[9] Hwaiting : Semangat!
[10] Geurae : Iya, begitu. That's right